KEPEMIMPINAN PEREMPUAN DALAM ISLAM PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA DAN MAQASHID SYARIAH
Abstract
This article is a conceptual study aimed at discussing and analyzing women's leadership from the perspective of Human Rights (HAM) and Maqashid Syariah, namely trying to find laws on women's leadership using a human rights approach and mashlahah theory by referring to texts and contexts. The first is referring to texts. The Qur'an and Hadith, while the second refers to the social reality that occurs in society with all the underlying rules. The text path is taken to bring out laws through what is written in the texts of the Qur'an and Hadith. Meanwhile, what is ghoiru nash is achieved by understanding what is not written in the text by looking at social reality or the democratic political tradition that developed in Indonesia, whose validity is tested by human rights law and mashlahah theory based on the objectives of Islamic law (protection of religion, soul, reason, heredity, and property) and the rules of fiqhiyah, which are based on the political culture of society. This study uses a literature review method, namely searching for valid data sources from library texts that are relevant to the problem topic being researched. The results of this study show that classical commentators tend to place leadership rights on the male side for two reasons: first, because men are considered to have absolute advantages over women, such as physical strength and intellectual intelligence. Second, because men (husbands) bear the economic burden or livelihood of their family members. Women's leadership in the public sphere is a matter that is changeable. Apart from the fact that there are no strong arguments indicating that it is prohibited for women to become leaders, there is also support from the political culture of society, especially in the political context in Indonesia, which adheres to a democratic political system that provides equal political rights between men and women. Men and women both have the right to vote and the right to be elected as political leaders, which is based on statutory regulations, both human rights law and election law.
Abstrak
Artikel ini merupakan kajian konseptual yang ditujukan untuk membahas dan menganalisis kepempinan perempuan dengan perpektif Hak Asasi Manusia (HAM) dan Maqashid Syariah, yakni berupaya menemukan hukum kepemimpinan perempuan dengan menggunakan pendekatan HAM dan teori mashlahah dengan mengacu pada teks dan konteks yang pertama mengacu teks atau nash Al-Qur’an dan Hadis, sedang yang kedua mengacu pada realitas sosial yang terjadi di masyarakat dengan segala aturan yang mendasarinya. Jalan nash ditempuh untuk memunculkan hukum-hukum melalui apa yang tertulis dalam teks Al-Qur’an dan Hadis. Sedangkan yang ghoiru nash ditempuh dengan cara memahami dari apa yang tidak tertulis dalam nash dengan memandang realitas sosial atau tradisi politik demokrasi yang berkembang di Indonesia yang diuji kesahihannya dengan undang-undang HAM dan teori mashlahah dengan berdasar pada tujuan hukum Islam (perlindungan agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta benda) dan kaidah-kaidah fiqhiyah yang bertumpu pada budaya politik masyarakat. Kajian ini menggunakan metode kajian kepustakaan, yakni melakukan penelusuran sumber data yang valid dari teks-teks kepustakaan yang relevan dengan topik permasalahan yang sedang diteliti. Hasil kajian ini menunjukan bahwa para mufasir klasik cenderung meletakan hak kepemimpinan dari sisi jenis kelamin laki-laki karena dua hal: pertama, karena laki-laki dianggap memiliki kelebihan atas perempuan yang bersifat mutlak, seperti kekuatan fisik dan kecerdasan akal. Kedua, karena Laki-laki (suami) menanggung beban ekonomi atau nafkah atas anggota keluarganya. Kepemimpinan perempuan dalam ruang publik adalah perkara yang sifatnya mubah, selain karena tidak ada dalil kuat yang mengindikasikan larangan perempuan menjadi pemimpin, juga adanya dukungan budaya politik masyarakat khususnya dalam konteks politik di Indonesia yang menganut sistem politik demokrasi yang memberikan hak politik yang setara antara laki-laki dan perempuan baik hak untuk memilih maupun hak untuk dipilih sebagai pemimpin politik yang dididasarkan pada peraturan perundangan baik undang-undang HAM maupun undang-undang Pemilu.